VISI HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang mahakuasa.
MISI HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan Abad-21.
SEJARAH HKBP
TINJAUAN SEJARAH AWAL DAN ARAH KEMANDIRIAN HKBP
Beberapa Catatan Historis tentang Awal dan Arah Kemandirian HKBP
(1861-2011) Pdt. Dr. J.R. Hutauruk
I. Periode 1860an – 1940an
a. Tiga Kekuatan
Dari segi sejarah kepemimpinan Sending RMG (1861-1940) dan HKBP (1940-2011) ada tiga kekuatan yang mengawali sekaligus jadi tiang penopang kemandirian HKBP. Pertama, lahirnya jemaat – jemaat desa atas keterbukaan menerima Injil , prakarsa dan swadaya kaum elit desa ( para raja/ pendiri desa dan warganya, khususnya dalam pengadaan pertapakan dan pembangunan gedong gerejanya. Sejak 1881 jemaat setempat berhak memilih pendeta pribumi menjadi pelayan sekaligus pemimpin jemaat di bawah pimpinan tuan pandita yang memimpin resort, seperti tertuang pada pasal 19 Tata Gereja 1881. Isi pasal ini tidak pernah diberlakukan. Mengapa pasal tentang hak jemaat untuk diikutsertakan menentukan siapa yang akan menjadi pimpinannya tidak pernah disebutkan. Terbentuknya badan majelis jemaat (kerkeraad dan kasbestur) telah meningkatkan hak kemandirian jemaat setempat sejak 1920. Majelis jemaat yang terdiri dari para sintua jemaat mengurusi soal-soal kerohanian dan badan kebendaharaan “kasbestuur” mengurusi keuangan dan inventarsi jemaat. Anggotanya terdiri dari anggota jemaat yang dianggap mampu mengemban tugas kebendaharaan itu. Majelis jemaat dibentuk oleh jemaat sendiri. Jemaat dipimpin oleh pendeta pribumi atau guru pribumi. Kelembagaan jemaat ini mencerminkan sistem presbiterial – sinodal HKBP, yang kemudian tertuang dalam tata gereja 1930. Kemudian 1960an mengalami perubahan, di mana golongan kasbestuur ditiadakan dengan alasan hanya mereka yang pemangku jabatan gereja ( sintua ) yang diijinkan jadi anggota majelis sedang seorang warga jemaat tidak. Dan itulah yang berlaku hingga kini. Sistem presbiterial-sinodal , yang dulu terdiri dari pemangku jabatan dan anggota jemaat sudah tiada, dan yang ada kini ialah kumpulan para pejabat gereja. Dulu ada golongan “kas bestuur”, kini sudah bagian dari masa tempo dulu. Pada awalnya keberadaan majelis jemaat itu menandakan kemandirian sebuah jemaat, karena hanya jemaat yang mampu membiayai diri sendiri dapat diakui sebagai sebuah jemaat. Kemandirian yang ditopang oleh kekuatan finansial jemaat menentukan mutu kemandiriannya.
Kekuatan kedua. Pada awalnya, penataan otoritas tertinggi di atas semua jemaat yang sedang tumbuh dan berkembang ialah kepemimpinan para pendeta utusan di bawah pimpinan seorang ephorus. Ephorus yang menempatkan guru dan pendeta. Dan pada gilirannya guru atau pendeta yang ditempatkan itu jadi pimpinan jemaat atas otoritas yang di atasnya yaitu para pendeta utusan yang berfungsi sebagai misionar dan pendeta resort. Pendeta resort yaitu para tuan pendeta, di aatsnya ada praeses dan diatasnya ada ephorus yang dapat langsung setiap saat berkunjung dan mengawasi semua jemaat. Kepemimpinan sedemikian rupa mencerminkan apa yang dikenal dengan sebutan episkopal, dan disebut sinodal-episkopal, karena ephorus,praeses, pendeta resort dan guru atau pendeta yang memimpin setiap rapat atau sinode mulai dari jemaat hingga ke sinode godang. Lihat Tata gereja 1881 pasal 20-25 dan tata gereja berikutnya. Kedudukan ephorus berada pada tiingkat tertinggi dari kerucut kepemimpinan itu.
Sejarah sending RMG dan HKBP (1861-2011) telah mencatat adanya kontradiksi kedua unsur itu, dan itu paling sering nampak di tengah jemaat HKBP yang jauh dari pusat hirakhi-episkopal itu, ketika jemaat-jemaat itu menuntut hak dan tanggungajwabnya sebagai jemaat yang mandiri. Contoh: jemaat-jemaat parserahan di Medan dan Jakarta (Batavia) pada tahun 1920an dan 1930an. Kedua unsur itu tetap dipertahankan hingga kini. HKBP selalu berupaya menarik manfaatnya secara konstruktif dan kreatif. Itulah dua kekuatan yang menopang kemandirian HKBP, kekuatan-kekuatan yang dalam dirinya sendiri menyimpakan kontradiksi dalam dirinya sendiri.
Kekuatan yang ketiga ialah pemangku jabatan kependetaan itu. Adanya jabatan kependetaan yang sejak awal melekat pada pribadi setiap misionaris sekaligus pendeta utusan. Karena alasan praktis di mana pertambahan tenaga pendeta utusan tidak bakal dapat memenuhi kebutuhan perluasan sending yang melahirkan jemaat, maka sejak 1868 dibuka pendidikan ( guru pribumi dan sejak 1885 dibuka pendidikan pendeta pribumi, yang nanti dapat menjadi perpanjangan tangan kaum pendeta utusan untuk melaksanakan tugas pelayanan di bidang khotbah termasuk kedua sakramen baptian dan perjamuan kudus, pengajaran, penggembalaan dan pengelolaan administrasi jemaat. memimpin jemaat Status mereka sebagai pembantu, menunut loyalitas tinggi terhadap bapa rohani mereka, tuan pandita Jerman. Semua tugas pelayanan mereka dan kebijakan mereka harus dilaporkan kepada atasannya. Perhatian kita selanjutnya lebih focus pada jabatan pendeta pribumi sebagai pendeta pembantu.